Bisnis.com, MAKASSAR - Gubernur Sulawesi Selatan Syahrul Yasin Limpo mendapat kehormatan menjadi pembicara utama mewakili Indonesia dalam kegiatan Indonesia 4th Business Summit (IABS) 2017 yang diselenggarakan di Hilton Convetion, Adelaide, Australia Selatan, Australia, Senin (27/11) waktu setempat.
Dalam IABS 2017, Syahrul memaparkan perkembangan Sulsel sebagai provinsi dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi di Indonesia dan menjelaskan potensi-potensi investasi di Sulsel.
Melalui presentasenya dengan judul "Peluang Emas Sulawesi-Selatan", dia mengawali dengan posisi strategis antara Sulsel dan Australia. Termasuk jalur penerbangan dengan tiga penerbangan internasional dan 14 penerbangan domestik. Untuk jalur pelayaran, Sulsel menjadi pusat pelayaran di Kawasan Timur Indonesia (KTI).
"Sulsel adalah provinsi dengan pertumbuhan ekonomi diatas rata-rata nasional. Pusat pertumbuhan di luar Pulau Jawa, pusat pengendali keuangan di KTI, serta menjadi simpul utama dalam berbagai sektor dan bidang," kata Syahrul dalam rilis Biro Humas dan Protokol Setda Provinsi Sulsel.
Simpul utama yang disampaikan yaitu, distribusi barang dan jasa, pelayanan kesehatan, pendidikan, suplai makanan dan komunikasi informasi.
Untuk komoditas makanan, Sulsel pada 2016, produksi beras sebesar 5,7 juta ton sebagai peringkat kedua nasional, jagung sebesar 2,1 juta ton sebagai ketiga terbesar nasional, kopi 30,3 juta ton, sapi potong 1,3 juta ekor, kakao 153.000 ton, udang 41,6 juta ton dan rumput laut 3,4 juta ton.
Pada sektor tambang, potensi emas terbesar ada di Kabupaten Luwu. Volume ekspor nikel tahun 2015 sebesar 103 ribu ton, potensi marmer terbesar di Maros dan Pangkajene, untuk pasir besi di Luwu dan Luwu Timur.
Sumber daya energi yang sangat potensial juga dimiliki Sulsel, panas bumi terdapat di Toraja, Luwu, Sidrap dan Sinjai. Tenaga air di Toraja, Pinrang dan Enrekang dengan potensi 1.400 megawatt. Tenaga angin di Jeneponto dan Sidrap dengan potensi 300 megawatt, gas alam juga dimiliki Sulsel di Kabupaten Wajo.
Sektor infrastruktur, diantaranya, bandara internasional dengan luas 759 hektare dan siap dikembangkan hingga 860 hektare. Pelabuhan Makassar dengan dok sepanjang 300-2.120 meter. Kereta api Trans Sulawesi 145 kilometer dan rencana pembangunan monorail menghubungkan empat wilayah, Makassar, Maros, Gowa dan Takalar.
Serta kawasan industri yang saat ini digunakan seluas 271 hektare, akan dibangun lagi dibeberapa daerah seperti Makassar, Maros, Gowa, Takalar dan Bantaeng.
Hubungan antara Indonesia khususnya Sulsel dengan Autralia juga dikemukan oleh SYL, termasuk Sulsel menjadikan Australia sebagai mitra startegis dan penting.
"Kantor Konsulat Australia ada di Makassar, kami memiliki 600 alumni universitas Australia di Sulsel dan 65 mahasiswa Sulsel yang sedang studi," sebut Syahrul.
Sedangkan untuk jumlah ekspor dan impor Sulsel ke Australia, tahun 2015, ekspor sebesar US$8,12 juta, impor US$133,68 juta. Tahun 2016, ekspor US$12,77 juta dan impor US$53,52 juta.
Pertemuan bisnis ini menjadi forum yang memiliki peranan penting di mana sejumlah pemangku kepentingan pemerintah daerah dan investor Australia serta pemangku kepentingan bisnis bertemu.
Tujuan dari kegiatan ini untuk memfasilitasi sumber daya potensial, meningkatkan ekonomi antara kedua negara, khususnya pada sektor pariwisata, pendidikan kejuruan dan pelatihan, pertanian, kesehatan, energi, dan sumber daya.
Berbagai diskusi panel akan diikuti oleh SYL, akronim Syahrul Yasin Limpo, di mana dirancang untuk menghasilkan gagasan baru dan langkah nyata untuk kepentingan Indonesia dan Australia. Kegiatan ini berlangsung hingga 28 November.
Selain SYL, pembicara utama dalam seluruh rangkaian acara ini diantaranya, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI Yohana Susana Yembise, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Thomas Lembong, Gubernur Sumatera Barat Irwan Prayitno, Dubes RI untuk Australia merangkap Vanuatu Y. Kristiarto S. Legowo, Menteri Perdagangan Australia Martin Hamilton Smith, Walikota Adelaide Martin Haese.
Sebelumnya, SYL juga diundang menjadi pembicara di Lee Kwan Yew School of Public Policy, National University of Singapore (NUS) Singapura, Jum'at (24/11/2017) lalu.