Bisnis.com, MAKASSAR - Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan berupaya mengkampanyekan budaya pemanfaatan moda transportasi massal melalui Bus Rapid Transit atau BRT di Makassar.
Upaya tersebut dimanifestasikan melalui operasional BRT Kampus yang selanjutnya akan melayani pergerakan penumpang dari segmen civitas akademika di kota tersebut.
Gubernur Sulsel Syahrul Yasin Limpo mengatakan penyediaan fasilitas BRT yang khusus melayani antarkampus itu juga diharapkan menjadi moda transportasi yang aman dan nyaman bagi pengguna jasa.
"Ini merupakan jawaban dari harapan bertransportasi aman dan nyaman yang dibutuhkan oleh masyarakat secara umum," katanya dalam sambutan saat launching BRT Kampus, senin (30/10/2017).
Adapun BRT Kampus terintegrasi dengan BRT Mamminasata yang merupakan hasil kerjasama antara Pemprov Sulsel dengan Perum Damri sebagai operator armada moda transportasi massal tersebut.
Kepala Dinas Perhubungan Sulsel Ilyas Iskandar mengatakan moda transportasi itu akan memiliki rute yang menghubungkan beberapa kampus utama di Makassar dengan beberapa kampus di Kabupaten Gowa, daerah penyangga Makassar.
Menurut dia, terdapat dua unit armada bus milik Damri yang siaap melayani penumpang pada rute antarkampus itu dan beroperasi secara rutin setiap hari mengikuti pergerakan pengguna jasa.
Adapun BRT Kampus itu, lanjutnya, merupakan pula bagian dari program 1.000 kebaikan yang dicangkan diinstruksikan oleh Gubernur Sulsel, di mana salah satunya sektor perhubungan darat di daerah ini.
"BRT Kampus ini sudah lama dinantikan," klaim Iskandar.
Secara luas, peluncuran BRT Kampus diharapkan bisa menggairahkan penggunaan moda massal berbasis bus sebagai alternatif transportasi sehingga bisa menekan potensi kecelakaan maupun kemacetan.
Sejauh ini, BRT Mamminasata cenderung kurang diminati oleh masyarakat Makassar sehingga membuat operator memangkas jumlah armada yang beroperasi.
GM Perum Damri Cabang Makassar Ilyas Hartanto sebelumnya mengatakan, pihaknya mengurangi armada BRT Mamminasata lantaran volume penumpang yang kecil tidak sebanding dengan biaya operasional.
"Dari 15 unit armada yang melayani koridor II dan III, kini tinggal tujuh armada yang beroperasi. Selebihnya di parkir karena kita mengalami kerugian," katanya.
Dia menjelaskan, langkah tersebut bagian dari efesiensi agar pelayanan maupun kondisi perusahaan tetap berjalan berkelanjutan.
"Gambarannya, biaya operasional itu sekitar Rp400.000 untuk BBM, belum termasuk uang makan dan penegasan serta kondektur perharinya. Sementara penghasilan perharinya biasa hanya Rp100 ribu," jelasnya.