Bisnis.com, JAKARTA – Paguyuban Mitra Produksi Sigaret Kretek-Indonesia (MPSI) mempertanyakan usulan pembatasan impor tembakau yang disampaikan oleh Asosiasi Petani Tembakau Indonesia saat bertemu dengan Presiden Joko Widodo pekan ini di Istana Negara.
Hal tersebut dianggap kurang tepat karena tidak memperhatikan dampak negatifnya terhadap keberlangsungan industri tembakau nasional, khususnya bagi lebih dari enam juta orang yang menggantungkan hidupnya di industri ini.
Ketua Paguyuban MPSI Djoko Wahyudi menilai, pemerintah semestinya mampu melihat dari berbagai sisi, khususnya mengenai kapasitas produksi tembakau yang dimiliki dalam negeri dan kapasitas produksi tembakau yang diperlukan oleh industri.
Menurutnya, sebagai negara yang masih mengalami defisit tembakau baik secara kualitas, kuantitas dan varietas, impor tembakau masih dibutuhkan oleh industri, terutama varietas yang tidak dapat dihasilkan di dalam negeri.
“Dalam membuat kebijakan, pemerintah seharusnya memperhatikan dampak terhadap seluruh pihak. Jangan sampai, selalu para buruh yang ujung-ujungnya menjadi korban,” kata Djoko dalam keterangan pers, Kamis (2/11/2017).
Ia menekankan bahwa jika tidak ada bahan baku tembakau yang tersedia, maka para buruh tidak dapat bekerja dan pada akhirnya dapat kehilangan pekerjaan mereka. Dalam empat tahun terakhir, katanya, rata-rata produksi tembakau di Indonesia selalu di bawah 200.000 ton per tahun. Sementara, permintaan tembakau berkisar 340.000 ton per tahun.
Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja Rokok, Tembakau, Makanan, dan Minuman (FSP RTMM) Sudarto menyampaikan hal senada. Menurutnya, pemerintah sebagai regulator sekaligus pelindung tata kelola industri hasil tembakau harus berdiskusi dengan pabrikan untuk mencari cara mencukupi kebutuhan bahan baku tembakau di Indonesia.
“Memang tidak semudah membalik tangan. Namun, koordinasi diperlukan supaya tidak perlu terjadi PHK karena produksi harus dihentikan,” sambung Sudarto.
Dalam mengatasi masalah pembatasan impor tembakau, Sudarto juga menghimbau agar pabrikan dan petani terus melakukan kerja sama untuk memenuhi kebutuhan produksi tembakau melalui bentuk kemitraan.
Program kemitraan termasuk mulai dari pendampingan, pemberian modal dan teknologi, penanaman hingga panen.
“Pemerintah sebagai pengawas harus betul-betul mengawasi supaya dalam kemitraan tersebut tidak berat sebelah. Ada jaminan bagi petani, produknya mesti dibeli oleh pabrikan dengan harga standar tertentu,” ujar Sudarto.