Bisnis.com, MANADO - Guna menghidupkan kembali pelayaran ro-ro antara Davao, Filipina - Bitung, Sulawesi Utara yang saat ini mati suri, salah satu upaya yang bisa ditempuh adalah dengan memperluas kerjasama antara pemilik kargo dan shipper dengan pelaku di daerah sekitarnya.
Pasalnya secara fundamental memang ada persoalan lemahnya daya dukung interaksi perdagangan antara Bitung-Davao yang kemudian menimbulkan permintaan layanan angkutan roro di trayek tersebut.
Hal itu seperti disampaikan Saut Gurning, Pakar Kemaritiman dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, kwpada Bisnis, Kamis (26/10), atas mati surinya pelayaran ro-ro Davao - Bitung yang sempat diresmikan Presiden Jokowi belum lama ini.
Pihaknya menilai bahwa faktor comparative advantage dua wilayah itu cenderung sama, baik bahan konsumtif maupun industri. Termasuk, lanjut dia, ide kargo perikanan yang awalnya dapat mendukung orientasi atau tujuan pasar perikanan nasional ke pasar internasional lewat Davao, tapi ternyata tidak begitu banyak kargo perikanan yang menuju ke Davao lewat Bitung.
"Maka sebaiknya sosialisasi, pemasaran dan kerjasama perdagangan antara pemilik barang dan shipper tidak hanya antara Bitung-Davao," ujarnya kepada Bisnis.
Namun, lanjutnya, perlu juga diperluas dengan kerjasama yang lebih luas antara pemilik kargo dan shipper di Davao dengan para pemilik kargo dan shipper di Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Maluku, Maluku Utara, Papua Barat dan Papua.
Selanjutnya, proses ekspor langsung lewat Bitung perlu didukung kementerian perdagangan, KKP, Kementerian Keuangan, Perhubungan dan lainnya yg terkait, termasuk dukungan digital-marketing perlu disediakan guna memperluas volume potensi perdagangan lewat rute ini.
Selain itu, menurut Saut, faktor lainnya penyebab mati surinya Davao - Bitung adalah total biaya logistik roro dari point to point atau door to door Bitung-Davao cenderung tidak mendorong semakin murahnya barang perdagangan secara komparatif antara Bitung-Davao.
Hal ini diakibatkan beban biaya pelabuhan dan biaya pengangkutan yang cenderung tinggi oleh pihak operator pelabuhan maupun shipper, baik di Bitung maupun Davao.
"Untuk hal ini maka kolaborasi bisnis operator angkutan darat, pelabuhan dan pelayaran roro perlu diinisiasi sehingga total biaya logistik points to points dapat lebih mendorong opsi para pemilik barang utk memanfaatkan trade-channelling lewat rute roro Bitung-Davao ini," ujarnya.
Selain itu, lanjut dia, juga insentif fiskal pemerintah dalam konteks perdagangan perlu lebih dapat diberikan guna menstimulasi perdagangan lewat laut dengan volume lebih besar dan lebih murah.
Sedangkan faktor penyebab ketiga, kata Saut, khususnya terkait kargo perikanan yang menjadi ide awal obyek angkutan roro tersebut, ternyata tidak banyak kargo perikanan yang dapat diekspor lewat Davao.
Hal ini disebabkan hasil tangkapan yang didapat di wilayah perairan Sulawesi Selatan dan Tenggara, Maluku, Maluku Utara dan Papua cenderung enggan ke Bitung karena bertambahnya biaya handling di Bitung, dan lebih efisien atau murah dari pelabuhan perikanan dan pelabuhan umum terdekat langsung ke Davao tanpa harus lewat Bitung.
Untuk ini, kata dia, maka daya tarik Bitung sebagai pusat konsolidasi produk perikanan tangkap kita perlu diperkuat, seperti fasilitas cold-storage yang efisien dengan kapasitas yang besar.
Kemudian, lanjut dia adanya dukungan layanan nilai tambah bagi pelayaran dan bongkar-muat produk perikanan di Bitung sehingga nelayan dan eksportir mau menarik atau membawa kargo perikanannya ke Bitung.
"Misal perumpamaannya bagaimana caranya agar pedagang Tanah Abang termasuk suplier pakaiannya di Solo, Jogja, Kendal atau lainnya diajak untuk menambah outlet channelingnya ke Bitung," ujarnya.m
Jadi, tegasnya, tawaran channeling Bitung-Davao harus lebih murah dengan pola eksis fishing zone-domestic port-Davao, termasuk opsi lewat angkutan udara.
Sebelumnya diketahui bahwa keberlangsungan rute pelayaran laut roll-on roll-off (ro-ro) untuk jalur Davao - Bitung yang sempat diresmikan oleh Presiden RI Joko Widodo dan Presiden Filipina Rodrigo Roa Duterte akhir April lalu, kini terancam gagal total.
Pasalnya, semenjak berlayar perdana 30 April 2017 dari Davao ke Bitung pulang pergi tersebut, sampai saat ini belum ada pelayaran lagi sama sekali. Padahal, rute yang diharapkan meningkatkan konektivitas Indonesia-Filipina maupun kawasan ASEAN itu direncanakan akan dilayari dua pekan sekali.
Praktis, sudah lima bulan berjalan, proyek tersebut mati suri dan terancam gagal total, apabila tidak segera diselesaikan oleh seluruh pemangku kepentingan atas segala persoalan yang masih menjadi pekerjaan rumah bersama.
Wakil Ketua Kadin Sulawesi Utara, Daniel Pesik mengakui bahwa hingga saat ini belum ada pelayaran lagi untuk rute Davao - Bitung PP tersebut. Hal itu lantaran masih banyaknya regulasi perdagangan yang sangat ketat dan membuat pelaku usaha kewalahan. Padahal para pengusaha sangat antusias memanfaatkan rute pelayaran tersebut.
"Ya memang harus diakui, sampai sekarang belum ada pelayaran lagi untuk rute Davao - Bitung ini. Memang bisa dikatakan terancam gagal. Kalau skala persentase, ini bisa dibilang sudah di atas 50% gagal," tegasnya kepada Bisnis, Senin (25/9).
Menurutnya diperlukan keseriusan dari seluruh pihak, termasuk pemerintah daerah maupun pusat untuk mengurai sejumlah persoalan yang masih menghambat tersebut.