Bisnis.com, MAKASSAR -- Meski memiliki sederet potensi komoditas ekspor yang melimpah, kontribusi Kawasan Timur Indonesia (KTI) terhadap struktur ekspor nasional hanya berkisar 26%.
Bahkan, jika diperinci lebih spesifik, kinerja ekspor KTI relatif mengalami pasang surut lantaran masih sangat bergantung pada komoditas raw material. Padahal, harga bahan mentah rentan berfluktuasi mengikuti kondisi pasar global.
Kondisi tersebut membuat kapasitas daya saing ekspor KTI cenderung tertahan sehingga dibutuhkan langkah strategis, termasuk mendorong daya saing pelaku usaha berorientasi ekspor yang ada di kawasan tersebut.
Direktur Jenderal (Dirjen) Pengembangan Ekspor Nasional Kementerian Perdagangan (Kemendag) Arlinda menilai sudah saatnya KTI menemukan titik akselerasi dengan memacu ekspor komoditas yang telah mengalami tahapan nilai tambah, sehingga memiliki nilai tinggi di pasar global.
"Salah satunya melalui industrialiasi memang, manufaktur yang fokusnya memberikan nilai tambah terhadap komoditas ekspor. Untuk KTI ini banyak potensinya, berbagai sektor yang terkait agribisnis dan lainnya," ujarnya di sela-sela acara “Mendorong Peningkatan Daya Saing Ekspor Kawasan Timur Indonesia (KTI) melalui Fasilitasi Ekspor: Pembiayaan, Kemudahan Perizinan, Informasi Pasar dan Fasilitas Kepabeanan” di Makassar, Kamis (30/8/2018).
Selain itu, diperlukan pendampingan berkelanjutan bagi pelaku usaha berorientasi ekspor di KTI agar lebih mendalami produk unggulan dan dapat menganalisis pasar sehingga menciptakan daya saing.
Arlinda, yang juga tercatat sebagai Dewan Direktur Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI), melanjutkan eksportir di KTI juga bisa memanfaatkan perluasan pasar ekspor dengan menjajaki negara-negara non tradisional sebagai sasaran baru.
Hal tersebut tentu saja dilakukan melalui sinergitas, kolaborasi dan koordinasi dengan pemerintah yakni kementerian atau lembaga terkait seperti Kemendag dan Direktorat Jenderal Bea Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan (Kemenkeu), serta memungkinkan fasilitas pembiayaan dari LPEI.
Dalam kesempatan yang sama, Dirjen Bea dan Cukai Kemenkeu Heru Pambudi mengatakan fasilitas direct export yang telah dibuka melalui beberapa pelabuhan utama di KTI menjadi katalis untuk lebih memajukan ekspor dari kawasan tersebut.
Selain itu, DJBC juga telah mengeluarkan kebijakan melalui fasilitas kepabeanan yang memberikan insentif fiskal kepada perusahaan yang berorientasi ekspor berupa pembebasan Bea Masuk dan Pajak Dalam Rangka Impor (PDRI).
Bersama dengan LPEI, pihaknya mengaku terus berupaya mendukung sektor-sektor yang mendorong nilai tambah dan daya saing eksportir, khususnya di KTI.
Ada pula pemangkasan izin prinsip Tempat Penimbunan Berikat (TPB) dari 10 hari kerja menjadi 1 jam izin secara online, penyederhanaan izin transaksional di Kawasan Berikat dari 45 izin menjadi 3 izin cara online, serta registrasi kepabeanan dari 5 hari kerja menjadi 3 jam secara online.
Kemudian, pemangkasan izin prinsip Kemudahan Impor Tujuan Ekspor (KITE) dari 30 hari menjadi 1 jam dan izin Nomor Pokok Pengusaha Barang Kena Cukai (NPPBKC) dari 30 hari menjadi 3 hari.
"Khusus dari KTI, tentu ke depannya bisa lebih terpacu lagi. Kami juga telah menyiapkan fasilitas kepabeanan yang diharapkan bisa ikut mendorong kinerja ekspor, terutama di KTI," sebutnya.
Sementara itu, Direktur Pelaksana II LPEI Indra Wijaya Supriadi menyatakan kontribusi yang dapat diberikan untuk pelaku usaha di KTI dapat terus ditingkatkan demi meningkatkan ekspor.
Pada titik tersebut, sinergitas menjadi sangat penting agar dapat mendorong dan meningkatkan kapasitas pelaku ekspor di KTI termasuk klasifikasi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), terutama yang berorientasi ekspor, untuk lebih bersaing di pasar global.
LPEI turut menyediakan fasilitas pembiayaan, penjaminan, asuransi, dan jasa konsultasi bagi pelaku usaha berorientasi ekspor sehingga mampu memacu kapasitas serta kontribusi secara signifkan.
Hingga semester I/2018, pembiayaan LPEI yang tersalurkan sudah mencapai Rp103,66 triliun atau tumbuh 6,7% secara tahunan.
Khusus untuk pembiayaan Usaha Kecil Menengah Berorientasi Ekspor (UKME), per Juni 2018 tercatat sebesar Rp14,2 triliun atau tumbuh 23,4% dari periode yang sama tahun sebelumnya.
Pembiayaan tertuju ke komoditas ekspor unggulan pemerintah seperti CPO serta Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) dan terus mengarah kepada komoditas yang bernilai tambah serta diversifikasi produk lainnya.
"Setidaknya terdapat 50 jenis komoditas yang dibiayai. LPEI juga berupaya untuk searah dengan program pemerintah untuk diversifikasi pasar produk ekspor, terutama ke Afrika, Asia Selatan, dan Amerika Latin," terangnya.
Pelaksanaan penjaminan dan asuransi ekspor juga menunjukkan pertumbuhan yang signifikan selama hampir sembilan tahun terakhir.
Hal ini ditunjukkan dengan pertumbuhan outstanding penjaminan dari sebesar Rp303 miliar pada 2009 menjadi Rp12 triliun pada Juni 2018. Demikian pula kegiatan asuransi yang dilakukan oleh LPEI, yang masih Rp1,4 miliar pada 2009 menjadi Rp11,8 triliun pada Juni 2018.
"Untuk KTI, penyerapan berada di kisaran 10% dari total pembiaayaan LPEI. Namun, kami optimistis pembiayaan kami ke KTI dapat terus ditingkatkan menimbang potensi besar yang dimiliki di kawasan ini," tambah Indra.